Agora dan Mall
Apa itu agora? Agora yang dalam bahasa yunani “Ἀγορά, Agorá “ adalah tempat untuk pertemuan terbuka di negara-kota di Yunan kuno. Pada sejarah Yunani awal, (900–700 SM), orang merdeka dan pemilik tanah yang berstatus sebagai warga negara berkumpul di Agora untuk bermusyawarah dengan raja atau dewan. Di kemudian hari, Agora juga berfungsi sebagai pasar tempat para pedagang menempatkan barang dagangannya di antara pilar-pilar Agora. Dari fungsi ganda ini, muncullah dua kata dalam bahasa Yunani: αγοράζω, agorázō, "aku berbelanja", dan αγορεύω, agoreýō, "aku berbicara di depan umum".
Sementara itu apa arti dari mall? Mall adalah gedung atau kelompok gedung yg berisi macam-macam toko dng dihubungkan oleh lorong (jalan penghubung). Di indonesia sendiri pengertian mall adalah jenis dari pusat perbelanjaan yang secara arsitektur berupa bangunan tertutrup dengan suhu yang diatur dan memiliki jalur untuk berjalan – jalan yang teratur siantara antar toko-toko kecil yang salaing berhadapan. Adapun penngertian mall memiliki kesamaan dengan pengertian dari plaza. Apa itu plaza? Plaza adalah ruang publik terbuka (open air), biasanya minimal ada satu bangunan yang menyertainya, kadang dikelilingi bangunan lain. Dalam terminologi budaya kita dikenal sebagai alun-alun, sebuah ruang publik terbuka yang dibatasi oleh bangunan pemerintahan, masjid, penjara dan pasar. Kata plaza berasal dari istilah Spanyol, memiliki arti yang mirip dengan city/town square dalam Bahasa Inggris, atau piazza dalam Bahasa Italia. Arti plaza kemudian mulai bergeser, mungkin berubah makna akibat statistik, bahkan ketika sama sekali tidak ada ruang publik terbuka tetap diberi nama plaza. Hal itu pulalah yang terjadi pada arti sebenarnya dari mall yang berubah arti manjadi tempat pusat perbelanjaan yang besar dan megah.
Lalu apa hubungannya antara mall, plaza dan agora? Sebenarnya dari ketiga kata tersebut tidak memiliki arti yang berkaitan satu sama lain secara erat. Selain dari dari arti mall dan plaza yang memiliki pergeseran makna atau arti menjadi sebuah pusat perbelanjaan yang megah di pusat kota. Agora sendiri juga memiliki sedikit persamaan dengan mall atau plaza yakni sebagai pasar atau tempat berjualan para pedagang. Di indonesia sendiri, gedung-gedung mall ataupun plaza telah tersebar di seluruh indonesia tepatnya di pusat kota. Jakarta khususnya, gedung-gedung mall ataupun plaza telah merajarela dimana-mana, bahkan rencana pembangunannya pun masih terus berlanjut denagan berbagai macam komplikasinya antara pro maupun kontra. Sungguh disayangkan bila generasi saat ini hanya mengerti arti dari mall ataupun plaza sebagai tempat perbelanjaan semata.
Saat ini perkembangan mall ataupun plaza berkembang pesat. Bila kita berkunjung kesuatu daerah di pusat kota sudah bisa di pastikan bahwa kita akan menemukan mall ataupun plaza, tanpa harus bersusah payah. Perkembangan mall yang berlebihan akan menimbulkan kekacauan. Entah dalam konteks tata ruang atau hal lainnya. Memang kebutuhan orang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sangatlah besar , khususnya dalam hal berbelanja. Akan teteapi alasan ini tidak juga dibenarkan dalam hal untuk membangun sebuah mall secara berlebihan. Kasus ini pulalah yang terjadi jakarta. Banyak bangunan-bangunan mall ataupun plaza yang merajarela di jakarta, padahal hal ini menyebabkan sempitnya ruang hijau di jakarta. Akan tetapi hingga saat ini pembngunan mall di jakarta masih diperbolehkan.
MASALAH MALL
Saat ini sudah ada 67 mal di Jakarta. Empat mal lagi masih dalam tahap perizinan. Satu di antaranya akan dibuka pada awal Agustus 2010, sedangkan tiga yang lain menunggu sampai tahun 2011.
Kendati demikian, Kepala Dinas Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Wiriatmoko mengatakan pembangunan mal di Jakarta masih diizinkan. Hal tersebut seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk di Jakarta yang berkaitan dengan kebutuhan publik.
"Intinya semakin bertambah jumlah penduduk di Jakarta maka semakin banyak pelayanan publik yang diberikann seperti mal," ujar Wiriatmoko di sela-sela Diskusi Nasional Pembangunan Ibukota Jakarta Dalam Perspektif Nasional di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Jumat (23/7).
Namun Wiriatmoko menegaskan pembangunan mal tidak lagi dipusatkan di tengah kota. Pembangunan akan disebar ke pinggiran kota. Wilayah kota administrasi pusat, selatan, dan utara dinilai sudah padat. Mal yang ada di tiga kawasan tersebut pun dinilai terlalu besar.
"Grand Indonesia itu mal paling besar di seluruh dunia. Saya sudah keliling mal di beberapa kota di negara-negara lain. Mal di Amerika Serikat saja rata-rata 3 tingkat," papar Wiriatmoko yang siang itu memakai kemeja batik lengan panjang.
Lebih lanjut, menurut dia, pembangunan mal sebaiknya dilakukan di Jakarta wilayah kota administrasi barat dan timur. Kedua wilayah tersebut dinilainya tidak sepadat tiga wilayah lainnya.
"Ya kalau mau bangun-bangun, di barat dan timur yang masih kurang mal. Untuk pusat, selatan, dan utara sudah jenuh. Jadi ini sentralisasi mal di tengah kota," tandasnya.
Penyebaran pembangunan mal, menurutnya, bertujuan untuk memecah terpusatnya mal di tengah kota sehingga dapat mengurangi hilir mudik transportasi warga Jakarta dan sekitarnya. Dia menambahkan hal itu akan dijadikan saran dalam pembuatan kebijakan perizinan pembangunan mal.
"Ini kita jadikan masukan dalam kebijakan membuat mal. Dan nanti juga kita arahkan para investor atau pengusaha untuk melihat pada daerah barat dan timur," kata Wiriatmoko.
Bangunan mal, jelas Wiriatmoko, juga memiliki batasan berdasarkan perspektif tata ruang. "Tidak boleh terlalu besar, paling 3 lantai. Bangunan juga sebaiknya dibangun secara vertikal," paparnya.
Desentralisasi mal tersebut menurut Wiriatmoko juga dikenakan kepada pusat perbelanjaan waralaba. Penyebaran tersebut bertujuan untuk mendukung kehidupan pasar tradisional. Pihaknya menilai keberadaan pasar tradisional selama ini terdesak dengan keberadaan pusat belanja frenchise.
"Waralaba-waralaba besar seperti Carefour atau Giant tidak di pusat kota lagi, kita taruh di outer ring. Pasar tradisional diupayakan tidak menjadi korban dan obyek dengan keberadaan waralaba besar tadi di tengah kota. Ini kita jadikan kebijakan untuk perizinan ke depan," jelasnya.
Ketika ditanya mengenai jarak ideal antara satu mal dengan mal lainnya terkait dengan kepadatan mal di satu kawasan, Wiriatmoko menegaskan bahwa tidak ada aturan dalam Perda DKI Nomor 2/2002 tentang tentang Perpasaran Swasta di DKI Jakarta, yang mengatakan ada pembatasan jarak antar mal satu dengan lainnya. "Yang ada adalah jarak antara mal dengan pasar tradisional," kata dia.
Demikian berangkat dari informasi di atas yang dimbil dari http://www.mediaindonesia.com/read/2010/07/23/157526/38/5/Pembangunan-Mal-di-Jakarta-masih-Diperbolehkan , dapat kita ketahui bahwa pemda daerah jakarta sendiri tidak ambil pusing dengan merajarelanya mall-mall di jakarta. Hanya dengan beranggapan bahwa masih dalam peraturan yang ada. Bila kita lihat pula jarak mall yang satu dengan yang lainnya tidak cukup jauh, mungkin juga bisa dikatakan dekat. Pembangunan mall dianggap salah satu penyebab permasalahan di Jakarta. Apalagi jumlahnya dinilai sudah terlalu banyak. Dari data yang diperoleh saat ini di Jakarta sendiri telah terdapat 70 mal yang menjadikan kota ini sebagai kota di dunia yang paling banyak memiliki mal. Oleh karena itu, DPRD DKI Jakarta mengusulkan penghentian pembangunan pusat perbelanjaan setidaknya untuk lima tahun ke depan. Anggota DPRD dari Fraksi Partai Golkar, Priya Ramadhani, mengatakan pembangunan mal membuat kondisi Jakarta semakin timpang. Terutama mengenai keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) dan kemacetan. Menurut Ketua DPD Partai Golkar DKI ini usulan tersebut dilontarkan untuk memberikan kesempatan Pemprov DKI memenuhi target RTH-nya yang saat ini baru mencapai 9,6 persen dari target 13 persen.
Selain itu berdasarkan dari sumber http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/09/23/stop-pembangunan-mall , dinyatakan bahwa
Kebijakan radikal harus diterapkan untuk menyelamatkan lingkungan Jakarta yang saat ini telah masuk dalam tahap kronis. Diantaranya dengan menghentikan pembangunan mall maupun gedung yang dianggap sebagai salah satu penyebab makin tergerusnya daerah resapan air atau Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Bahkan saking bobroknya kondisi lingkungan ibukota, beberapa pakar Tata Kota menyatakan bahwa rembesan air laut dari pantai utara Jakarta telah mencapai kawasan Setiabudi Jakarta Selatan.
Akibatnya penurunan muka tanah terjadi yang mengakibatkan bencana banjir tidak dapat terhindarkan. Sebagai satu-satunya langkah untuk menghentikan pembangunan yang dinilainya merusak lingkungan ini, ialah menghentikan penerbitan izin pembangunan mall baru. Tidak hanya itu dikatakannya reklamasi pantai Jakarta juga harus dengan tegas dihentikan, bangunan-bangunan dan gedung-gedung yang menyalahi peruntukan harus dirobohkan dan diganti menjadi kawasan hijau.
Sesuai dengan yang diamanat UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), seluruh daerah diwajibkan membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) daerahnya masing-masing sehingga mengetahui daya dukung lingkungan untuk pembangunan.
Menurut guru besar Universitas Atmajaya, saat ini, ruang terbuka Jakarta, yaitu untuk kawasan hijau dan resapan air hanya 13% dari seluruh luas kota yang seluas 650 km2. Padahal, dalam UU Tata Ruang, Jakarta memerlukan 30% ruang terbuka. Dengan begitu, masih kekurangan 17% lagi, “Artinya, masih banyak berbagai bangunan dan gedung-gedung yang tidak sesuai peruntukan harus dibongkar,” katanya.
Hal yang sama juga dilontarkan, Ketua Metropolitan Cabin for Watch and Empowerment (Mc We), yang menyatakan sejak 1970 Jakarta telah memiliki rencana umum tata ruang yang berlaku hingga 25 tahun. Dimana dalam program tersebut telah diatur lokasi penggunaan kawasan, seperti jalur hijau, pemukiman dan daerah resapan.
Namun seiring dengan sistem pemerintahan orde baru yang bersifat centralistic, pemerintahan dimasa kepemimpinan Soeharto ini membuat program akselerasi pembangunan nasional yang bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa. Akibatnya banyak investor asing menanamkan modalnya dan pembangunanpun tidak terkendali.
Oleh karena itu dikatakan Amir, diperlukan langkah tegas untuk mengembalikan Jakarta pada rencana awal. Mengingat k daerah resapan dan RTH yang ada saat telah banyak dimanipulasi. Kebijakan ini dimungkinkan mengingat dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang terdapat pasal yang menyatakan kawasan yang telah terlanjur berubah peruntukkan dan masih memiliki sisa lahan maka pembangunannya harus dihentikan. Sedangkan bagi bangunan yang kenyataannya dinyatakan menyalahi aturan maka harus ditindak tegas. Misalnya dengan memberikan kompensasi melakukan penghijauan di kawasan tertertentu..
Secara terpisah, Ahli Tata Kota dari Universitas Erlangga Darundono, menuding Pemprov DKI tidak serius m menangani masalah lingkungannya. Ini dibuktikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI tahun 2000 hingga 2010 hanya memproyeksikan 13,94 persen atau 96,6 Km dari luas total Jakarta 661,52 Km.
Persentase ini tentunya sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas lingkungan hidup di Jakarta karena minimnya resapan dan tangkapan air yang ada. Data yang ada, 266 situ atau waduk penampungan air di wilayah Jabodetabek tak terurus atau terbengkalai. Dan yang berfungsi dengan baik atau maksimal hanya 33 buah situ saja.
Sekitar 233 buah lainnya hilang atau sudah berubah menjadi bangunan bertingkat, mal, pusat belanja bahkan town house. “Ini lebih disebabkan karena kebijakan pembangunan yang tak memperhatikan lingkungan sekitar,” ujarnya.
Terkait rencana tata ruang Jakarta, Gubernur DKI, Fauzi Bowo, menyatakan startegi peningkatan kualitas lingkungan merupakan bagian prioritas pada Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Raperda RTRW) DKI 2010-2030 akan mulai dibahas DPRD DKI pada November 2010. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Sarwo Handayani, mengaku masalahlingkungan telahmenjadi perhatian khusus Pemprov DKI. Hal ini dibuktikan dengan berbagai langkah refungsi beberapa bangunan. Salah satunya 27 Satuan Pengisian bahan Bakar Umum (SPBU) yang telah direfungsi menjadi RTH. Tidak hanya itu Yani, juga menyatakan dalam RTRW ini, pihaknya juga merencanakan pembatasan jumlah penduduk. Sehingga daya tampung Jakarta tidak melebihi beban dan pembangunanpun dapat disesuaikan. Sedangkan terkait pembangunan pusat perbelanjaan seperti mall, Yani menyatakan bahwa kebijakan itu dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan penduduk. Meski dikatakan Yani dirinya tidak menampik jika pembangunan yang terjadi saat ini hanya terpusat di tengah kota.
Dari semua informasi diatas dapat kita simpulkan bahwa, pembangunan mall sejatinya diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan orang banyak, akan tetapi tidaklah harus melebihi dari batas. Untuk di jakarta sendiri pemerintah ibukota telah menyatakan akan menanggulangi masalah mall tersebut, meski pada kenyataannya belum mempunyai andil yang cukup besar.
Dampak Pembangunan Mall di Indonesia
Dampak Positif
1. Mall memberikan peningkatan pendapatan negara dalam bentuk pajak, karena adanya aktivitas ekonomi disitu. Aktivitas ekonomi yang terjadi juga bukanlah main-main karena faktor penggerak transaksi kaum urban yang datang ke mall sudah tentu didominasi kalangan menengah ke atas. Sejatinya mereka bisa mengeluarkan lebih dari 100rb rupiah untuk setiap kedatangan mereka ke pusat perbelanjaan (akumulasi dari parkir, belanja, makan dan minum, atau kegiatan lain seperti nonton bioskop).
Ini adalah hal yang sangat menggiurkan terutama untuk pemerintah kita sebagai pendapatan negara. Meningkatnya jumlah orang kaya di tahun 2010 ini dan memboomingnya industri kreatif dapat turut mendongkrak psikologis manusia untuk berbelanja. Berbelanja hal-hal yang mungkin tidak terlalu mereka butuhkan.
2. Setiap pendirian mall berarti penyerapan tenaga kerja baru. Setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1% hanya mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 250.000 - 300.000 orang tenaga kerja. Masih belum bisa menutupi angka jumlah pengangguran sebanyak 10 juta orang lebih di Indonesia. Pertanyaannya adalah, tenaga kerja manakah yang akan diserap oleh Mall? Tenaga kerja penduduk dengan KTP DKI Jakarta? Ataukah tenaga kerja Bodetabek yang notabene akan menambah jumlah komuter ke Ibukota?
3. Mall adalah sebuah lambang pengakuan. Pengakuan dari pihak-pihak; terutama tenant (terlebih jika tenant berasal dari luar negeri) bahwa iklim investasi di Indonesia baik. Menurut indeks investasi dunia, Indonesia masuk dalam peringkat 17 negara yang dapat dijadikan tempat berinvestati. Menyusul kenaikan harga IHSG yang nyaris menembus angka 3000, adalah indikasi-indikasi lain yang menunjukkan bahwa secara makro, negara ini memiliki fundamental ekonomi yang kuat.
4. mall juga memberikan fasilitas dan menampung seluruh kebutuhan masyarakat kota pada umumnya sehingga mall menjadi bangunan wajib yang ada di hampir seluruh pusat kota di indonesia
sumber : http://bismanara.blogspot.com/2010/07/dampak-positif-keberadaan-mall.html
Dampak Negatif
Pembangunan mall akhir-akhir ini semakin meningkat, seiring pertumbuhan pembangunan di kota jakarta, ada dampak positif tapi lebih banyak negatifnya dari pertumbuhan mall tersebut.
Banyaknya mall akan juga melahirkan jurang perbedaan yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Sehingga si miskin makin tidak akan merasa nyaman. Selain itu dampak lain pembangunan mall adalah warga akan semakin sulit mendapatkan ruang terbuka, seperti daerah resapan air atau taman sehingga pada gilirannya akan menyebabkan banjir. Dampak sosial dari pembangunan mall adalah warga akan terbius menjadi warga yang konsumtif dan menghabiskan waktunya dimall, kalau sang warga punya kemampuan finansial yang baik untuk belanja di mall mungkin tidak terlalu masalah, akan tetapi jika sang warga tak punya uang yang cukup, maka yang akan terjadi adalah angka kriminalitas yang akan semakin tinggi. Seperti pencopetan, penjambretan, perampokan dll.
Dalam konsep teori pembangunan perkotaan, yang seharusnya menjadi tempat berkumpul warga kota adalah taman atau area terbuka, namun karena keterbatasan dana dari pemerintah daerah untuk membangun taman baru dan perawatan taman yang telah ada maka mereka sulit mendapatkan taman atau lahan yang enak dikunjungi. Warga kota merasakan taman yang tidak terawat,kotor, kumuh. Ada hal menarik di balik pertumbuhan mall yang meningkat yaitu karena warga kota kehilangan tempat untuk sekedar berkumpul maka mal-mall jadi satu-satunya tempat untuk ajang berkumpul dan interaksi antar warga kota.
Satu lagi dampak negatif dari pertumbuhan mall adalah tersingkirnya satu persatu pasar tradisional yang pada gilirannya mematikan aktifitas pedagang tradisional pribumi. Jumlah pedagang tradisional semakin hari semakin berkurang akibat kalah bersaing dengan pasar modern yang memberi kenyamanan yang lebih. Sebagai catatan dari 37 pasar tradisional yang ada di kota bandung hanya ada dua pasar yang tingkat huniannya diatas 75%, sisanya hanya mempunyai tingkat hunian dibawah 50%.
Contoh Kasus dari Pembangunan Mall
1. Dampak Pembangunan Mall di Kawasan Senayan
Kita mungkin telah mendengar berita di koran maupun elektronik tentang rencana pembangunan Mall di kawasan Senayan,tepatnya bekas gedung Taman Ria Senayan.Rencana ini banyak menuai protes dari berbagai kalangan dari anggota Dewan DPR hingga Menpora yang tidak menyetujui rencana pembangunan Mall di kawasan Senayan.
Kalo kita melihat flashback kebelakang,,kawasan Senayan pada pemerintahan dahulu rencananya di jadikan kawasan khusus olahraga,yang didalamnya terdapat stadion sepakbola (GBK),GOR basket dll.
Namun semua itu tak seperti yang di rencanakan,,yang berdiri sekarang justru bangunan2 hotel dan Mall yang berada di sekitar kawasan senayan yang seharusnya di kawasan ini di jadikan Mess Pemain atau Mess atlet.
Menpora dan anggota DPR sangat keberatan tentang rencana pembangunan Mall lagi di kawasan senayan.Pembangunan Mall di bekas gedung Taman Ria lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya.Banyak kerugian yang akan di akibatkan dengan adanya Mall lagi di Senayan,kerugian yang paling jelas adalah kemacetan di kawasan senayan.
Dan kerugian yang pasti buat kita insan olahraga adalah ketika adanya pertandingan sepakbola,pasti akan menimbulkan polemik yang luar biasa,khususnya bagi kita Jakmania ketika Persija berlaga di Stadioan Gelora Bung Karno.keberadaan Mall di Taman Ria sangat bisa memungkinkan untuk sulit mendapatkan izin pertandingan dari pihak kepolisian,yang mereka akan mengatas namakan “kemacetan” dan menggangu kenyamanan umum,dan kita2 lagi lah Jakmania yang menjadi “kambing hitam” dari pihak kepolisian maupun orang yg “berduit” dan Team kesayangan kita lah Persija Jakarta yang menjadi korbannya.
Semoga menpora dan DPRD dapat mencegah rencana pembangunan ini,yang dapat menimbulkan polemik berkepanjangan bagi insan olahraga khususnya sepakbola.Dan kami akan mendukung rencana Menpora untuk menjadikan Taman Ria senayan menjadi kawasan Taman kota.Dan Team Kesayangan kita Persija Jakarta tidak dapat masalah dalam izin pertandingan distadion Gelora Bung Karno.
(http://thejakmania.net/2010/09/dapak-pembangan-mall-di-kawasan-senayan/)
2. Mall Harus Ada Izin Analisa Dampak Lalu Lintas
VIVAnews – Pertumbuhan mal di Jakarta semakin tidak dapat dikendalikan. Kepolisian bahkan menuding kalau mal salah satu sumber utama kemacetan Jakarta.
Tudingan kepolisian yang menyatakan mal menjadi sumber kemacetan bukanlah tidak berasalan, saat ini pembangunan mal tidak pernah melihat analisa dampak lalu lintas.
“Pengelola harus ajak polisi (Ditlantas), Dishub, dan Dinas PU untuk membahas dan menganalisa dampak lalu lintas,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Boy Rafli Amar, Jumat 23 Juli 2010.
Izin analisis dampak lalu lintas dalam pembangunan mal sudah tertuang dalam UU No 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. “Pembangunan mal perlu mengantongi izin tersebut. Jangan sampai mal itu jadi sumber kemacetan,” jelasnya.
Saat ini, sambungnya, banyak mal-mal di Jakarta tidak memperhatikan aspek Tata Kota seperti menempatkan pintu masuk mal di depan jalan protokol. Hasilnya terjadinya kemacetan yang cukup panjang.
“Kalau mau masuk mal pasti harus memakai jalan umum sehingga memadatkan jalan. Akhirnya menimbulkan kemacetan,” jelasnya.
Dia menegaskan, jika memang nanti Taman Ria Senayan akan dibangun mal, maka mereka juga harus mendapatkan izin analisa dampak lalu lintas dan dampak lingkungan. Begitu juga untuk pembangunan mal lainnya.
Menurut pengamatan Ditlantas Polda Metro Jaya, empat mal yang menjadi sumber kemacetan. Misalnya Plaza Semanggi, Mal lainnya adalah Mal Taman Anggrek, Grand Indonesia dan Ambasador. Seluruh pintu masuk mal tersebut berada di jalan protokol.
(http://bacaberita.tk/category/metro/page/20/)
3. Jika Sesuai Taman Ria Senayan Berdiri
VIVAnews – Kepala Dinas Tata Ruang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Wiriatmoko mempertanyakan alasan pihak-pihak yang mempermasalahkan proses pembangunan mal di kawasan Taman Ria Senayan.
“Dari dulu sudah ada bangunannya dan dari dulu sudah ada izinnya. Setahu saya ada IMB-nya. Sekarang ini (bangunannya) diperbaiki, lalu kenapa diributkan? Bangunan di situ itu boleh dibangun,” ujar Wiriatmoko di sela-sela Diskusi Nasional di Bappenas Jakarta, Jumat 23 Juli 2010.
Menurutnya, pembangunan mal di Jakarta masih diizinkan seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk di Jakarta yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat terhadap sarana publik.
Meski demikian, pembangunan tersebut menurut Wiriatmoko harus berdasarkan ketentuan yang berlaku. “Dengan batasan nggak boleh terlalu besar, paling tinggi 3-4 lantai karena di sana daerah macet. Tapi itu bagian dari studinya Amdal. Ada Amdal sebelum konstruksi, saat konstruksi, dan paska konstruksi. Kami hanya bagian planning,” ujar Wiriatmiko.
Mengenai semakin maraknya pembangunan pusat perbelanjaan di seputar Jakarta, Wiriatmoko mengaku pihaknya tidak perlu membatasi pihak swasta yang hendak membangun mal atau pusat perbelanjaan.
“Tidak perlu dibatasi. Karena nggak dibatasi pun, suatu saat mereka (investor) secara alami akan tereliminasi sendiri. Lagipula, para pengusaha itu akan berpikiran kalau tidak menguntungkan, dia tidak akan membangun mal,” kata Wiriatmoko.
Namun Wiriatmoko berharap, pembangunan mal di Jakarta dapat tersebar merata di seputar Jakarta. Sebab selama ini, keberadaan mal lebih terpusat di wilayah Jakarta Pusat, Utara, dan Selatan sehingga menimbulkan kepadatan di satu lokasi saja.
“Kita menginginkan keberadaan mal tersebar secara merata. Untuk Jakarta Timur dan Jakarta Barat masih kurang. Untuk Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Utara sudah jenuh. Ini jadi pertimbangan untuk memberhentikan pembangunan mall di tiga daerah itu. Yah, kalau mau bangun mal di wilayah lain, kayak di Jakarta Timur dan Jakarta Barat,” ujar Wirianto.
Penyebaran pembangunan mal tersebut, menurutnya, akan dijadikan saran dalam pembuatan kebijakan perizinan pembangunan mal.
(http://bacaberita.tk/category/metro/page/20/)
Sumber lainnya : (http://www.artikata.com/arti-3938-agora.php , http://selylutchu.blogspot.com/, )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar