Perkembangan suatu hal tentu tak lepas begitu saja dari perjalanan masa lalunya, dan kejayaan masa lalu . Komik merupakan salah satu sinyalir "perekat budaya", komik melangsungkan evolusinya bersama- sama dengan berjalannya peradaban manusia. Kata 'komik' tersebut tidaklah berdiri sendiri, kata komik muncul pertama kali dengan ekornya 'strip' ( the comic strip) dan ia bukan pula merupakan suatu bentuk seni yang sama sekali baru seperti yang suka diangkat sebagian orang, komik diibaratkan sebuah perayaan atas kematian yang brilian dari konsepsi artistik yang sudah usang(out of date)
Secara naif biasanya komik strip di anggap mirip dengan narasi grafis (graphic narration). Kebiasaan ini adalah upaya menyetarakan komik dengan model awal narasi visual seperti gambaran/relief di Trajan Column atau Queen Mathilde’s, berikut pula contoh lainnya seperti lembaran-lembaran papirus Mesir, Bayeux Tapestry, novel cukilan kayu. Gambaran terdekatnya pada kita dapat di temui pada relief candi Borobudur dan Prambanan yang terkenal, secara spesifik Indonesia mempunyai Wayang Beber di Jawa, yang menggunakan teknik bercerita dengan gambar adegan per adegan. Dalanglah yang menarasikan satu persatu gulungan wayang beber dan menjalin kisah di dalamnya. Ada juga Prasi, ilustrasi dan lukisan dari daun lontar di Bali. Dan yang mendekati adalah ilustrasi naratif manuskrip Jawa yang banyak ditemukan berasal dari pertengahan abad ke 19, seperti Serat Rama Kawi, Serat Bratayuda, Serat Panji Jayakusuma, Serat Damarwulan . Tarik mundurlah lebih jauh lagi hingga ke lukisan dinding zaman pra-sejarah dan kita mempelajarinya sebagai sebuah arkeologi komik. Membedakan antara ‘komik’ dan model awal 'narasi visual' yang disebut-sebut itu, sedikit mirip seperti menganalogikan perbedaan 'sinema/bioskop/ layar tancap' dengan ‘wayang’(shadow teater/puppet); meski film atau animasi dapat di wayang-kan seperti dilakukan Lotte Reiniger(animator) , namun secara eksplisit kita bisa cukup jelas dalam membedakan keduanya.
Abad ke 19 di Eropa tercatat banyak eksplorasi dari narasi-narasi bergambar (illustrated narratives), yang beriringan dengan perkembangan teknologi cetak seperti zincography dan photoengraving. Tapi narasi itu, yang disebut "Images d’Epinal" di Perancis dan "Bilderbogen" di Jerman, masih menempatkan "jarak" antara teks dan gambar. Secara artistikal puncaknya kreasi cerita gambar (picture stories) ini dibuat oleh Rodolphe Toppfer dan Wilhelm Busch. Di abad-abad sebelumnya telah berlangsung eksprimen-eksperimen yang untuk sementara waktu terlihat antara teks dan ilustrasi berjalan di jalur yang berbeda, sampai akhirnya hadirlah ilustrasi cerita karya William Hogarth di tahun 1730-an yang menyatukan keterpisahan antara teks dan gambar, ke dalam satu jalinan cerita. Hogarth membuat sealami mungkin rangkaian adegan(sekuensial) dari sebuah visual naratif, dengan melukisan adegannya seolah-olah berada pada sebuah aksi panggung. Alhasil timbullah kesan dramatikal yang memikat. Apa yang Hogarth lakukan masa itu merupakan sesuatu hal yang sungguh berbeda dari cara mengillustrasi yang lazim di zamannya, sehingga dari sanalah diberikan sebutan yaitu "kartun(cartoon)". Konsepsi berupa setting antara teks dan gambar yang ia buat itu kelak akan menggiring adanya temuan sistematis penggunaan balon kata. Diduga konsepsi semacam ini berlanjut menelurkan asal-usul bentuk komik seutuhnya yaitu 'komik strip'.
Menjelang pergantian akhir abad ke 19, lahirnya bentuk budaya baru yang disebut komik ini, maka mulailah tampil ke depan pintu zaman sebuah model ekspresi baru yang populer. Menyandingkan pepatah Konfusius yang berbunyi, "A Picture means A Thousand Words", komik mendapatkan induksi pemaknaan yang lebih berarti sebagai sebuah media penyampai pesan yang memadukan teks narasi dan ilustrasi gambar. Sebagaimana yang diupayakan Will Eisner, seorang komikus Amerika yang sukses mengembangkan komik dalam bentuk yang ia sebut-sebut novel grafis (graphic novel), dimana dalam pandangannya buku komik merupakan montase kata dan gambar dimana seorang pembaca harus melatih kemampuannya menginterpretasikan hal-hal secara verbal dan visual bersamaan.
Jepang menyimpan penamaan tersendiri untuk komik yaitu 'Manga', dengan huruf kanji yang sama di Cina disebut Man Hua. Sebelumnya sempat di kenal sebutan Ponchi-e (istilah untuk gambar-gambar dari majalah Punch yang terbit pertama kali tahun 1814 di Inggris) dan juga komikkusu (mengadaptasi dari kata comics). Asal usul istilah Manga sendiri tidak ada keterkaitan spesifik dengan pengertian manga sebagaimana kita kenal sekarang ini sebagai sebutan untuk komik ala Jepang. Dahulu pada tahun 1814, jilid pertama “Hokusai Manga” diterbitkan, isinya adalah sketsa-sketsa Katshuhika Hokusai(1760-1849), seorang artis ukiyo-e (seni cukil kayu Jepang) yang terkenal, diterbitkan sebanyak 15 jilid. Tak ada gerak-gerik manusia yang luput dari ketajaman observasi matanya dan goresan kuasnya yang ekspresif. Hokusai menggambarkan obyektifitas pandangannya tentang kemanusiaan dari sisi yang humoris . Artis lain yang dinilai punya peran penting pada dunia komik Jepang adalah Yoshitoshi Tsukioka (1839-1892) artis ukiyo-e generasi akhir masa Meiji, adalah artis yang sangat baik melukiskan monster, makhluk aneh dan fantasi.
Konotasi manga kala itu disamakan dengan cartoon, dengan caranya sendiri-sendiri William Hogarth dan Katshuhika Hokusai melahirkan bentuk ilustrasi yang berbeda dari umum di tempat dan zamannya masing-masing. Adalah Rakuten Kitazawa(1876-1955) yang kemudian menjeneralisirkan penggunaan istilah Manga sebagai pengertian untuk kartun dan komik strip di Jepang, melalui suplemen hari minggu di harian Jiji Shinpou. Karya-karyanya masih sangat kental di pengaruhi oleh Outcoult, Dirks dan Opper. Tahun 1918 ia mendirikan Manga Kourakukai, sebuah asosiasi kartunis Jepang. Kitazawa adalah seorang pionir komik strip modern Jepang. Sekarang kartun/karikatur dan manga, mempunyai dunianya masing-masing dalam Jepang kontemporer.
Tradisi literatur atau sastra Jepang yang memikat dan biasanya berupaya menggiring emosional pembaca sehingga larut terbawa dalam imajinasi dan suasana cerita, tampaknya merupakan dasar kuat bagi kelanjutan perkembangan teknik bercerita dalam manga. Osamu Tezuka, yang dijuluki ‘The God of Manga’ yang tertarik sekali dengan desain karakter kartun Disney dan Max Fleischer, kemudian mengembangkan karakter individunya kedalam karya manga dan anime(sebutan khas animasi produksi Jepang) yang karena kepopulerannya, melanda berikutnya ke generasi-generasi selanjutnya hingga kini. Tezuka juga mendapatkan inspirasi dari film-film Jerman dan Perancis yang ia tonton semasa remaja, membawanya pada eksperimen teknik sinematografis masuk ke dalam manga Jepang, diantaranya melalui penciptaan efek-efek kesan ruang dan kedalaman, teknik 'passing' adegan, gerak dinamis dan slow motion, ritme cerita yang mendebarkan, dan alur cerita yang mengasyikkan dan tak harus selalu berakhir gembira. Beberapa efek sinematografis yang ia masukkan ke dalam manga adalah seperti pengambilan adegan dalam framing yang transisi obyeknya berubah perlahan-lahan. Semacam kesan zooming, pengambilan shoot gambar yang detail dari sudut ke sudut suatu obyek.
Jepang kontemporer mengandung banyak unsur campuran berbagai kebudayaan impor. Dimana di dalam pencampuran itu masih selalu terlekat erat esensi unsur yang menunjukkan tradisi ke-Jepangan-nya, misalnya saja kultur Jepang yang sangat menghemat ruang dan kompak, filosofis hidup ajaran Zen dan Konfusius, terlihat mempengaruhi lahirnya komposisi dan struktur lay-out manga yang efektif dan efisien dalam menggunakan bidang kertas terbatas namun tetap dijaga kejernihannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar